-->

Rasionalitas, Iman, dan #MenujuHalal2018


Sumber Gambar: malesbanget.com
“Curhat dong, Ma....”
“Tapi Mama lagi sibuk dengerin curhat ibu-ibu pengajian, Nak.”
“Ya sudah, Ma. Saya curhat di blog aja.”

***

Senin siang yang panas di pertengahan Desember 2017, saya duduk di pojokan mendengarkan ceramah Pak Bos usai jamaah shalat Zhuhur. Meski mengikuti pengajian sambil menahan ngantuk dan lapar, tapi setidaknya saya masih bisa menyerap inti ceramah tersebut; tentang iman yang seharusnya ditempatkan di atas rasionalitas, bukan sebaliknya.

Kita, sebagai manusia, memang wajib berusaha. Tapi, tidak ada kewajiban bagi usaha tersebut untuk mewujudkan atau memenuhi apa yang kita inginkan. Selalu ada kuasa dan kehendak Tuhan untuk menentukan hasil dari usaha. Saat usaha—yang secara rasional kita anggap sudah maksimal—tetapi hasilnya tidak sesuai keinginan, di sinilah iman berperan. Sehingga, penting untuk menempatkannya di atas rasionalitas.

***

Suatu ketika, seorang teman lama menyapa. Alih-alih bertanya kabar, dia justru bertanya kapan saya menikah. Ya, saya sepenuhnya sadar bahwa kebanyakan teman seangkatan sudah menikah, menyisakan beberapa yang masih single. Ujung-ujungnya, pasti kalian bisa menebak, bermacam nasihat dilontarkan—tanpa saya minta. “Jangan pilih-pilih.” Ya ampuun... beli kambing aja pilih-pilih. “Kamu itu cewek, beda sama cowok.” Ya iya, lah, dari dulu juga beda. “Mau nunggu yang seperti apa, sih?” Tenang aja, nggak harus sesempurna Fahri yang pintar, shalih, dermawan, tajir melintir tapi nggak bisa mengenali istri sendiri. Dan gongnya adalah; kamu harus mikirin anakmu kelak. Lalu dia mengirim tabel usia pernikahan dalam sudut pandang ekonomi dan masa depan.

Sumber Gambar: kaskus.co.id
Oya, model teman yang seperti itu bukan cuma satu, tapi cukup banyak. Sampai kemudian saya putuskan untuk menganggap “nasihat” mereka sebagai angin lalu dan mereka bosan dengan sendirinya karena cenderung saya abaikan.

sumber gambar: @deepikapadukone
Masih tentang menikah, beberapa hari lalu, saya membaca status viral seorang penulis novel religi yang mungkin maksudnya memotivasi kids jaman now buat nikah muda. Tapi... segitunyakah kaum laki-laki menilai kaum perempuan dalam sudut pandang memperoleh keturunan? Bukankah peluang memperoleh keturunan tidak hanya bergantung pada usia atau kesuburan seorang perempuan, tetapi juga kualitas sperma? *duh, ini kenapa nyampe ke sini ya pembahasannya. *lol

Untuk lebih jelasnya silakan googling atau tanya dokter kandungan.

Secara rasional, saya tidak akan mengingkari bahwa semakin bertambahnya usia wanita, semakin tinggi pula risiko saat dia hamil, misalnya bayi lahir prematur *cmiiw. Wanita yang hamil di usia 20-an risikonya jelas berbeda dengan wanita yang hamil di usia 30-an, atau bahkan 40-an. Wanita juga memiliki “batas” berupa menopause.

Begitu juga dengan tabel usia pernikahan dalam sudut pandang ekonomi dan masa depan. Menurut tabel tersebut, jika kita menikah di usia (yang menurut manusia) dianggap ideal, maka kelak, saat anak-anak mulai membutuhkan biaya besar, misalnya untuk masuk perguruan tinggi, kita masih berada di usia produktif dan kuat bekerja sehingga mampu membiayai mereka. Secara rasional, hitungannya demikian. Dan lagi-lagi, saya tidak akan menyangkal tabel tersebut.

Tetapi, dalam hidup, tidak selamanya semua yang kita rencanakan, inginkan, dan kita anggap ideal bisa terwujud, pun soal pernikahan. Kalau jodoh, selalu ada jalan, entah tabrakan (klise keles), musuhan, sahabatan, pacaran, taarufan, atau bahkan sandal jepit yang tertukar. Begitu juga kalau tidak jodoh, selalu ada jalan, walaupun sudah ada kesepakatan mahar, tanah kavlingan, atau desain rumah yang dikelilingi kolam (*kemudian kena DBD). Huahaha... kayak pernah denger cerita macem gini, deh.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana jika sudah berusaha namun jodoh tak kunjung tampak batang hidungnya? Boro-boro pakai hestek #MenujuHalal2018 lalu boncengan naik motor ke KUA, hilalnya saja tak terlihat meski sudah diteropong lewat doa-doa dan kode-kode yang tak terpecahkan. Sementara, orang-orang di sekitar dan keluarga besar terus mengejar dengan pertanyaan “kapan?”.

Sumber Gambar: seenit.in
Masih mending kalau cuma pertanyaan itu, karena sering kali akan ada pertanyaan lanjutan “mau nyari yang seperti apa?”, lalu disusul nasihat yang sudah saya dengar berulang-ulang, “jangan terlalu pilih-pilih.” Ya, SOP-nya seperti itu. Walaupun belakangan sudah mulai jarang yang bertanya demikian kepada saya. Sepertinya mereka mulai bosan. Wakakakaka....

Dulu, saya agak baper kalau “dituduh” pilih-pilih. “Jangan asal nuduh orang pilih-pilih kalau kamu nggak pernah ada saat dia terluka.” <<< pernah nge-twit dan nyetatus kayak gini. Senyum-senyum sendiri kalau ingat kebaperan ini.

Kalau sekarang? Beda dong. “Ya jelas harus pilih-pilih. Beli kambing aja milih-milih.” *sambil kasih emote ngakak

Lagipula, kalau nggak pilih-pilih, mungkin saya bakalan jadi public enemy yang dijuluki pelakor (na’udzubillah) karena menerima laki-laki yang ternyata saat itu (tanpa sepengetahuan saya) sudah in a serious relationship (entah masih bertunangan atau sudah menikah). Padahal, seorang teman sempat menyarankan agar saya mempertimbangkan laki-laki itu. Tapi dengan yakin, keputusan akhir adalah TIDAK.
Sumber Gambar: Qasidah Meme for Any Occasion
Oke, kembali ke pertanyaan sebelumnya; bagaimana jika sudah berusaha namun jodoh tak kunjung tampak batang hidungnya?

Tetap berusaha? Jelas iya. Perihal bentuk usaha itu seperti apa, terserah kamu, deh. Mau minta dijodohin, kirim proposal taaruf, instal Tinder, ngasih kode keras ke gebetan, ngajak balikan mantan, atau order Go-ride, Go-food, Go-car, silakan saja, asal tidak menghalalkan segala cara untuk menghalalkan sebuah hubungan.
Sumber Garmbar: imranabbas.official
Secara rasional kita berusaha. Tapi di atas segala usaha, tetap ada kuasa-Nya. Di sinilah iman perlu diletakkan di atas rasionalitas.

Iya, Mah, iya.... Eh, Mama Dedeh kan masih sibuk dengerin curhatnya ibu-ibu pengajian.

Jujur, dulu saat pertama kali melihat tabel usia itu, sempat tebersit kekhawatiran. Bagaimana jika kelak saat anak-anak belum mampu mencukupi kebutuhannya sendiri, saya sudah tua, sebab saya belum punya anak di usia yang menurut orang ideal? boro-boro punya anak, nikah aja belum.

Tapi kemudian, iman menyentil saya. Ya, saya merasa kekhawatiran tersebut mencerminkan sikap jemawa—menurut saya. Umat beragama apa pun pasti meyakini bahwa Tuhan Maha Kaya. Dialah yang menjamin rezeki setiap makhluk-Nya. Dan, jalan rezeki setiap anak tidak selalu dari orang tuanya. Lalu saya flashback ke masa-masa sekolah dan kuliah. Memang iya, jalan rezeki seorang anak itu banyaaak sekali, tidak harus dari orang tuanya.
Sumber Gambar: kaskus.co.id
Lantas, mengapa saya harus khawatir? Mengapa saya terlalu GR bahwa hanya saya yang akan menjadi perantara pemenuhan ekonomi anak-anak saya di masa depan?

Lalu, soal risiko atau kesuburan—and whatever—yang dikatakan si penulis novel mengenai wanita yang berumur—oke, sebut saja tidak lagi di usia awal 20-an. Andai ada laki-laki yang kemudian tidak memilih saya karena alasan usia, ya silakan saja. If you don’t choose me, it means I deserve to get someone better than you. Kan harus tetep positive thinking kepada Tuhan. 

Sudah berapa kali kamu mendengar atau membaca kutipan “everything happens for a reason”? Sounds chliche, right? Tapi, disadari atau tidak, pasti Tuhan punya satu atau bahkan beberapa alasan/hikmah untuk menetapkan sesuatu.

Misalnya begini, kamu berkeingan menikah di usia 25 tahun. Tapi jangankan menikah, gebetan saja nggak punya. Nah, pasti bukan tanpa alasan mengapa Tuhan tidak menetapkan pernikahanmu di usia 25 tahun sesuai keinginanmu. Mungkin, masih banyak “PR” yang harus kamu selesaikan, kamu masih disuruh mengabdi untuk kegiatan sosial, misalnya, mengembangkan hobi, menggapai cita-cita, memaksimalkan bakti kepada orang tua, atau meningkatkan kualitas diri sehingga pantas mendapat jodoh dengan kualitas terbaik juga. Tuhan yang paling tahu saat yang paling tepat. Wallahu a’lam.
Sumber Gambar: Qasidah Meme for Any Occasion
Beberapa hari lalu, seseorang menulis komentar di unggahan saya tentang kilas balik 2017. “Hanya 1 yang belum tercapai di 2017 ini, belum melangsungkan akad nikah, hahaha....”

Saya hanya tersenyum dan menertawakan komentar sotoy tersebut. Jujur, di tahun 2017, saya tidak menargetkan diri atau membuat resolusi untuk menikah, begitu juga dengan tahun 2018 ini.

Apaaa??!! Kamu nggak mau nikah?

Eit, santai. Maksudnya, saya tidak lagi “merengek” kepada Tuhan agar segera dinikahkan. Hahaha.... Saya hanya meminta yang terbaik kepada-Nya. Orang yang tepat di waktu yang tepat. Jika waktu yang terbaik itu adalah segera, saya yakin kok, Tuhan pasti menyegerakan. Tapi jika sebaliknya, saya selalu meminta kesabaran, khususnya untuk menanggapi nyinyiran, cibiran, “nasihat”, dan “motivasi” dari orang-orang sekitar, baik yang saya temui di dunia nyata maupun dunia maya. Justru di tahun 2018 ini saya ingin lebih banyak bersyukur dan tidak taking for granted. *istighfar

Saya juga kerap merenung dan berdialog dengan diri sendiri, mempertanyakan niat yang nantinya melandasi sebuah keputusan untuk menikah. Bukankah pernikahan adalah sesuatu yang sakral dan bernilai ibadah? Maka, saya tidak ingin “menodai” kesakralan pernikahan dengan niat lain, misalnya menikah agar tidak lagi diintimidasi dengan pertanyaan “kapan” dan sederet SOP yang menyertainya. Apalagi, kata Kanjeng Nabi, seseorang akan memperoleh berdasarkan apa yang dia niatkan. Nahlo!

Bayangkan, misalnya kamu shalat, tapi niatmu agar terlihat shalih di depan gebetan, bikin video pas lagi ngaji (sekalian nge-vlog) terus kirim ke gebetan atau bikin instastory buat cari perhatian si dia. Luarnya memang terlihat ibadah, tapi niatnya bukan untuk Tuhan. Saya nggak mau dong sebuah pernikahan yang disunnahkan oleh Kanjeng Nabi, yang sakral, tapi niatnya abal-abal, bukan karena Tuhan. Nah, untuk hal seperti ini, imanlah yang menegur saya, bukan Iman, apalagi Imran (Abbas). #eh 

Mau menikah di usia berapa pun, saya kira, setiap orang berhak bahagia, meski dengan cara yang berbeda. 

Disclaimer:
Saya menulis seperti ini bukan berarti level keimanan saya sudah tinggi bak orang suci, tapi ini sebagai refleksi (sekaligus curhat) bagi saya pribadi. Kamu mungkin punya pendapat berbeda berdasarkan pengalaman yang berbeda, dan kamu nggak harus setuju dengan tulisan saya.

Ayun
Menulis buku Unforgettable India dan mengedit banyak buku lainnya.

Related Posts

9 comments

  1. Lagi asik baca curhatmu trus liat gambar meme qasidahan gitu jd malah g jadi dapet feel nya. Malah ngebayangin km curhatnya pake acara nembamg qasidah gitu e

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kok aku jadi ikut ngebayangin diriku nyanyi qasidahan. Hahaha....
      Selain meme qasidahan emang lagi hits, aku juga nostalgia masa kecil lihat meme itu.

      Delete
  2. Mbak A sudah tunangan lho. Yg suka sebenere banyak, tp milih yg ini krn udah jadi dosen plus punya usaha batu bara atau apa gt. Pokoke Ceritanya mentereng nun jauh di awan. Gitu cerita ibukku yg habis ditanya kesekian kalinya oleh tetangga yg sama, yg entah mengapa suka muji diri dan keluarganya sendiri😅

    Karena beliau keseringan tanya bab "itu" pas ketemu aku apa ibuk, dengan santai aku bilang ke ibuk:"Coba buk gantian ditanya, "Bu, gimana rasanya habis isya di masjid, eh dilabrak istri sah orang?", wkwk😂

    Maap ga nyambung Mba, cuma mau bilang kalau orang yg melulu nanya hal yg blm jelas hilalnya itu seringkali nggak lebih bahagia dari kita jg kok😁

    #menujubahagiakayabiasanya 💙

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hah? Dilabrak istri orang? Ada ngerekam kayak Jedunn nggak? #eh

      Selamat berbahagia ya, Mbak. #peluk

      Delete
  3. Jodoh itu... nggak bisa dipegang sebelum ada keinginan untuk meraih.
    Tapi... yang mau diraih ya kudu ada dulu :D ntar yang ada megang kehampaan. Kan nyesek...

    Jodoh itu misteri. Udah gitu.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Misteri jodohmu sudah terjawab ya, Vind. Hehehe... Semoga lancar dan berkah. Amin.

      Delete
  4. Jodoh memang kita nggak tah kapan dan siapa. berdasarkan pengalaman, tsahhh. Dulu wanti wanti ortu `jangan tanya kapan saya nikah kalau belum lulus S2`. eh, ternyata ditengah lanjutin kuliah ketemu jodoh.

    I called it Rahasia Gusti pengeran.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Rahasia Gusti Pengeran yang mengirimkan Syah Jahan.

      Delete
  5. Btw gemas juga ya mba lama-lama. Kalo aku sih yg sering ditanyakan " Kamu tunggu apalagi, tinggal berangkat aja. Rejeki ada aja kok "
    Ya emg ada, tp kan ya kudu diperhitungkan ya wkwkw yakali mo makan batu

    sebel akutuh

    ReplyDelete

Post a Comment

meninggalkan komentar lebih baik daripada meninggalkan pacar. hehehe...

Subscribe Our Newsletter