“Jogja itu terbuat dari rindu,
pulang, dan angkringan.”
(Joko Pinurbo)
Tepat
pada hari ini, 7 Oktober 2015, kota Jogja genap berusia 259 tahun. Dan, selama
tiga tahun dari 259 tahun itu, saya menjadi satu dari sekian banyak perantau di
Jogja. Rasanya baru kemarin saya pertama kali menginjakkan kaki sebagai
perantau di kota ini. Masih sangat saya ingat, kedatangan saya di kota ini
disambut gerimis sisa hujan lebat yang mengguyur Jogja. Begitu kaki ini turun
dari gerbong kereta api, genangan air membuat saya terpeleset dan jatuh. Bayangkan, seorang
perempuan berbadan kurus dengan ransel gendut di punggungnya dan tas jinjing di
tangan kanan, terjatuh di antara beberapa orang yang baru turun dari stasiun.
Malu? Tak usah ditanya! Bonusnya, lengan kiri saya lumayan pegal-pegal keesokan
harinya.
Itulah
kejadian tiga tahun lalu, dan kini saya memasuki tahun keempat sebagai perantau
di Jogja. Tentu ada banyak hal yang saya alami dalam rentang waktu tersebut,
baik yang konyol, lucu, menyenangkan dan mengundang tawa, maupun yang menguras air
mata. Semua itu menjadi cerita di tanah rantau bernama Jogja.
Di
kota ini, saya benar-benar merasakan menjadi anak kos yang jauh dari orang tua.
Sebab, meski saya sudah tidak tinggal dengan orang tua sejak di pesantren, lalu
kuliah, namun saya tetap tinggal di Jember dan hanya butuh waktu satu jam untuk
pulang ke rumah. Berbeda dengan sekarang, saya harus menempuh perjalanan
sepuluh jam berkereta api untuk sampai di sebuah tempat yang saya sebut rumah,
tepatnya... rumah pertama. Berarti ada rumah kedua? Tentu saja!
Rumah
kedua itu adalah Jogja!
Tidak
berlebihan jika saya menyebut Jogja sebagai rumah kedua. Karena di kota ini
saya mengenal banyak orang yang kemudian menjadi kawan sekaligus saudara,
bahkan sepuluh jari saya tak cukup untuk menghitung jumlah mereka. Kata Imam
Syafi’i, “Merantaulah... kau akan dapatkan pengganti orang-orang yang engkau
tinggalkan (kerabat dan kawan).” Dan, kalimat itu telah terbukti.
Jogja
juga tak hanya mengajarkan toleransi, tapi sekaligus membuat saya benar-benar
mempraktikkannya. Seumur hidup, baru di Jogja saya tinggal seatap dengan teman
yang beda agama, suku, dan budaya. Dan ternyata, perbedaan itu memang indah.
Perbedaan tidak selalu memecah belah dan keakraban tidak selalu dibangun atas
dasar persamaan. Perbedaan tidak membuat kami gagal merajut persahabatan.
Bahkan, ibu kos yang beragama Katholik pun, rajin membangunkan anak-anak
kosnya saat sahur di bulan Ramadhan, terkadang juga memberi ta’jil.
Pendek
kata, Jogja memberi banyak warna dalam hidup saya, mulai yang mengasyikkan
hingga menjengkelkan, mulai yang lucu hingga wagu. Meski banyak yang
bilang bahwa Jogja berhenti nyaman, bagi saya Jogja tetap berhati nyaman, dan
berhotel nyaman.
Sugeng
ambal warsa, selamat ulang tahun Jogja, tetaplah menjadi kota budaya, bukan
kota penuh mall dan hotel bintang lima.
Jogja,
7 Oktober 2015
Post a Comment
Post a Comment
meninggalkan komentar lebih baik daripada meninggalkan pacar. hehehe...