sumber gambar: https://uns.ac.id/ |
Kuas yang telah dicelupkan ke dalam cat air itu menari di atas selembar kertas lebar. Bersama-sama, mereka menggambar berbagai macam objek sesuai keinginan. Mereka bebas menggambar apa pun, saat itu juga. Tak lama kemudian, selembar kertas itu mulai penuh dengan beragam gambar. Bunga, matahari, bintang, kucing, dan masih banyak lagi. Suasana makin riuh, namun seru dan menyenangkan.
Bukan, ini bukan lomba menggambar atau mewarnai untuk anak TK. Ini adalah kegiatan Art Therapy yang diadakan oleh Griya Scizhofren dan BEM UNS dalam rangka Hari Kesehatan Mental Dunia yang diperingati setiap 10 Oktober. Art Therapy atau terapi seni merupakan terapi untuk kesehatan mental melalui media seni, salah satunya dengan menggambar.
Dalam kegiatan tersebut, para ODMK (Orang Dengan Masalah Kejiwaan) diajak menggambar sebagai media untuk menuangkan isi pikiran. Karena terkadang banyak hal yang tidak bisa diungkapkan lewat kata-kata. Namun, jangan salah, warga ODMK di sini jauh dari stigma yang selama ini melekat pada ODMK.
Orang gila, bau, kotor, tukang ngamuk, perusak, dan menakutkan adalah sederet stigma yang melekat pada mereka. Stigma itu dibuat oleh masyarakat, mulai dari keluarga, tetangga, bahkan tenaga kesehatan. Stigmatisasi tersebut membuat para ODMK kehilangan dirinya sebagai manusia. Mereka adalah kelompok rentan yang tersisih dari masyarakat yang seharusnya mendampingi. Mereka adalah manusia yang tidak dimanusiakan. Bahkan, kerap kali para ODMK berkeliaran tanpa pakaian, menjadi gelandangan, meminta-minta makanan di warung, dan menjadi olok-olokan. Lebih parah lagi, ODMK perempuan tak jarang menjadi korban pelecehan dan kekerasan seksual.
Sementara itu, keluarga yang seharusnya menjadi support system pertama justru sering kali menjadi pihak yang menyudutkan, mulai dari stigmatisasi hingga pemasungan. Data Riskesdas 2018 mengungkap potret menyedihkan kondisi kesehatan jiwa di Indonesia. Angka yang sangat tinggi, yaitu 31,5%, menunjukkan masih banyak penderita gangguan jiwa yang dipasung. Lebih memprihatinkan lagi, sekitar 91% penderita depresi tidak mendapatkan perawatan medis yang layak.
Berdasarkan survei I-NAMHS (Indonesia National Adolescent Mental Health Survey) 2022, kondisi kesehatan mental remaja di Indonesia cukup memprihatinkan. Sekitar 1 dari 20 remaja (5,5%) dikategorikan sebagai orang dengan gangguan jiwa (ODGJ), sedangkan sekitar sepertiga (34,9%) remaja mengalami setidaknya satu masalah kesehatan mental atau tergolong orang dengan masalah kejiwaan (ODMK).
Sayangnya, angka yang relatif tinggi tersebut tidak diimbangi dengan edukasi dan kesadaran tentang kesehatan mental. Masalah kesehatan mental sering kali dikaitkan dengan gangguan jin atau kesurupan. Akibatnya, para ODGJ dan ODMK pun tersisih dari masyarakat dan tidak dianggap sebagai manusia seutuhnya. Alih-alih dibawa ke psikolog atau psikiater, mereka justru dibawa ke “orang pintar”. Padahal, jika ditangani dengan tepat, mereka bisa hidup normal dan produktif berkarya.
Kondisi sosial itu mengetuk hati seorang perempuan muda untuk melakukan sesuatu bagi para ODMK. Triana Rahmawati, dialah perempuan itu. Sudah 11 tahun Tria berkecimpung di bidang sosial ini. Ia telah mencecap pahit manis perjuangan bersama Griya Scizhofren yang ia dedikasikan untuk mengubah stigma ODMK.
Sebuah Langkah Kecil Menjadi Kebaikan yang Berkelanjutan
Saat itu, Tria masih berstatus sebagai mahasiswa UNS (Universitas Sebelas Maret). Lokasi kampusnya berdekatan dengan rumah sakit jiwa. Ia juga tinggal di sebuah kos yang tak jauh dari tempat rehabilitasi ODMK. Hatinya pun tergugah untuk melakukan sebuah proyek berkelanjutan yang berdampak baik. Bersama dua temannya, yaitu Febrianti Dwi Lestari dan Wulandari, Tria ingin melakukan pendampingan kepada para ODMK.
Griya PMI Surakarta menyambut hangat langkah kecil Tria dan dua temannya untuk mendampingi para ODMK. Sejak Maret 2012, Griya PMI Surakarta menjadi “rumah” bagi orang-orang telantar di wilayah Kota Surakarta. Saat ini, Griya PMI sendiri terbagi menjadi dua, yaitu Griya PMI Peduli yang mewadahi orang-orang telantar dengan kondisi gangguan jiwa atau psikotik dan Griya PMI bahagia yang menampung para lansia telantar.
Ketika pertama kali datang ke Griya PMI, Tria diminta untuk berinteraski secara langsung dengan para ODMK. Pada pengalaman pertama ini, Tria sempat canggung dan gugup. Namun, tekadnya telah bulat untuk mendampingi warga ODMK. Bersama mereka, Tria bercerita dan bernyanyi. Kesan pertama bertemu para ODMK membuat Tria menyadari bahwa mereka bisa hidup normal dan berkarya, jauh dari stigma buruk yang melekat selama ini.
Awalnya, warga ODMK dan ODGJ itu hidup telantar dan menggelandang. Mereka tak ingat keluarganya. Entah anak siapa, saudara siapa, di mana keluarganya? Tak ada yang peduli. Kemudian, di Griya PMI, mereka dirawat dan diberi pendampingan yang layak. Ada yang sembuh dan ingatannya kembali, lalu dipulangkan ke keluarganya. Ada juga yang meninggal dunia tanpa pernah tahu identitas diri yang sesungguhnya. Namun, siapa pun mereka, yang jelas mereka adalah manusia yang harus dimanusiakan.
Griya Schizofren: Perjuangan Mengubah Stigma ODMK
Hari itu, pertemuan pertama Tria dengan para ODMK menjadi sebuah awal dari langkah baru. Interaksi langsung dengan warga ODMK membuat Tria makin yakin dengan langkah yang ia ambil. Dari sinilah, Tria dan dua temannya mendirikan mendirikan Griya Scizhofren. Griya artinya rumah. Sc (Social) berarti komunitas sosial, Hi (Humanity) bermakna bahwa landasan komunitas ini adalah rasa kemanusiaan, dan Fren (Friendly) berarti mearjut persahabatan dengan warga ODMK. Singkatnya, Griya Schizofren berarti komunitas yang dibangun berdasarkan misi sosial dan berlandaskan rasa kemanusiaan untuk bersahabat atau mendampingi para (ODMK).
Saat awal berdiri pada 2012, Griya Schizofren hanya beranggotakan tiga orang, yaitu Tria, Febri, dan Wulan. Seiring waktu, Griya Schizofren bertransformasi menjadi komunitas anak muda yang peduli pada kesehatan mental dan memiliki jiwa sosial. Banyak anak muda, terutama dari kalangan mahasiswa yang bergabung sebagai relawan di Griya Schizofren. Mereka berinteraksi dan mendampingi para warga ODMK melakukan berbagai kegiatan.
Weekly activity atau kegiatan mingguan rutin diadakan oleh Griya Schizofren bersama para relawan. Fun coloring, makeup day, fruit day, dan masih banyak lagi kegiatan seru untuk para ODMK. Selain itu, ada monthly event atau kegiatan bulanan yang rutin dilakukan. Setiap kegiatan berlangsung dengan menyenangkan, jauh dari stigma bahwa ODMK itu menakutkan dan harus dijauhi. Mereka menyanyi, mewarnai, menggambar, dan bercerita.
Kegiatan-kegiatan tersebut tak hanya menjadi hiburan, tetapi juga terapi bagi warga ODMK. Kehadiran para relawan dari Griya Schizofren sangat berarti dalam proses pemulihan. Sebab, untuk dapat beraktivitas normal, ODMK perlu waktu dan harus rutin minum obat. Griya Schizofren hadir menemani mereka melewati fase-fase yang berat dalam menghadapi masalah kejiwaan.
Sebagai komunitas sosial, Griya Schizofren juga sangat terbuka bagi siapa pun yang ingin membantu, baik tenaga, pikiran, maupun materi. Sebab, mendampingi lebih dari 100 ODMK membutuhkan banyak sumber daya, termasuk materi, agar kebaikan ini terus berkelanjutan. Misalnya, pada Juni 2024, Awardee HapFam (Happiness Family) menyalurkan bantuan berupa sembako dari Berkah Dalem Community untuk para warga ODMK di Griya PMI Surakarta. Griya Schizofren juga membantu menyalurkan donasi berupa pakaian layak pakai untuk orang telantar dan warga ODMK.
Perjuangan Griya Schizofren untuk mengubah stigma tidak berhenti sampai di sana. Di era digital ini, Griya Schizofren juga memanfaatkan media sosial sebagai platform untuk mengedukasi masyarakat secara lebih luas. Sebab, sampai saat ini, stigma terhadap ODMK masih melekat kuat. Salah satunya adalah stigma bahwa mereka kurang dan berbeda. Gangguan jiwa atau masalah kejiwaan memang sesuatu yang tidak dialami oleh semua orang sehingga para ODGJ dan ODMK dianggap berbeda. Ditambah lagi, mereka kesulitan berkomunikasi sehingga keluarga sulit memahami. Karena itulah, ke depannya, Tria sebagai pendiri Griya Schizofren ingin sekali memberi pendampingan kepada keluarga.
“Kita pengen mendampingi keluarga-keluarga buat ngembangin potensi orang dengan masalah kejiwaan yang ada di keluarganya. Jadi, keluarganya itu bisa melihat kelebihan si anggota keluarga ini yang nggak dieksplor selama ini. Terus yang kedua, kalau sosial ekonominya udah jalan, itu bisa jadi pendapatan untuk keluarga,” ungkap Tria dalam wawancara yang tayang di TV10, sebuah saluran TV lokal di wilayah Surakarta dan sekitarnya.
Peran keluarga memang sangat penting sebagai support system bagi ODMK. Sebelum mendirikan Griya Schizofren, Tria sudah terbiasa berinteraksi dengan Fian, salah satu keluarganya yang terlahir dengan down syndrome. Namun, kelainan genetik itu tidak membuat Fian kekurangan kasih sayang dari keluarganya. Fian tumbuh menjadi anak yang tetap bisa berkarya menganyam keset yang sangat disukainya. Dari sinilah, Tria mulai belajar tentang konsep keluarga inklusif.
Keluarga inklusif adalah keluarga yang menerima semua anggota keluarga, termasuk anggota keluarga dengan disabilitas, gangguan jiwa, dan masalah kejiwaan lainnya. Konsep inilah yang ingin dikampanyekan oleh Tria lewat pendampingan keluarga dengan ODMK atau ODGJ. Tujuannya bukan semata mengubah stigma, tetapi juga mengeksplor potensi agar para ODMK dan ODGJ tetap bisa berkarya seperti orang-orang pada umumnya.
Berkarya dan Berdaya bersama Warga ODMK
“Griya Schizofren hadir untuk apa? Memberi tahu kalau mereka punya kemampuan, kelebihan, yang banyak orang nggak tahu,” jelas Tria dalam podcast bersama Solvenesia, usaha kreatif yang hadir untuk memberdayakan ODMK dengan inovasi teknologi untuk menghasilkan produk souvenir yang unik dan menarik.
Sebagai sociopreneur, Tria juga mengelola bisnis kreatif Solvenesia dan berkolaborasi dengan Solve by Givo yang merupakan bagian dari Komunitas Happiness Family. Bisnis ini menghasilkan produk-produk suvenir, seperti totebag, pouch, aneka souvenir pernikahan, dan lain-lain. Gambar-gambar yang dihasilkan oleh warga ODMK saat sesi art therapy diolah secara digital untuk desain totebag.
Hasil gambar warga ODMK yang dijadikan desain totebag (sumber gambar: www.instagram.com/griya.schizofren) |
Diceritakan oleh Tria, bahwa ia pernah meminta seorang ilustrator untuk mengolah gambar para ODMK. Setelah melihat gambar-gambar itu, si ilustrator merasa merinding dan ingin menangis. Ternyata, hasil karya para ODMK itu bukan sekadar gambar gunung, rumah, atau kura-kura. Di mata sang ilustrator, gambar-gambar itu mampu menceritakan kesedihan dan kebahagiaan yang dirasakan oleh warga ODMK. Totebag yang didesain dari hasil karya warga ODMK bukan sekadar gambar semata, tetapi juga ungkapan emosi yang mereka rasakan.
Warga ODMK yang gambarnya terpilih untuk dijadikan desain totebag juga mendapatkan keuntungan secara materi. Hal ini diharapkan bisa menjadi motivasi bagi mereka untuk terus berkarya dan berdaya secara berkelanjutan. Bagaimanapun juga, mereka berhak dilihat sebagai manusia seutuhnya tanpa embel-embel stigma.
Perjuangan dari Hati Berbuah Apresiasi Bergengsi
Sebagai manusia biasa, Tria pernah merasa lelah, ingin menyerah, dan ingin berhenti. Ia ingin hidupnya fokus pada keluarga tanpa memikirkan banyak orang. Apalagi ia harus berpikir dan bekerja keras mencari sumber dana untuk Griya Schizofren. Ditambah, terkadang ada relawan yang tidak konsisten sehingga menambah rasa capeknya.
Saat Tria benar-benar merasa down untuk melanjutkan Griya Schizofren, sebuah kabar datang seperti angin semilir kala cuaca panas. Kabar gembira itu datang dari panitia Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Award. Tria terpilih sebagai penerima apresiasi SATU Indonesia Awards 2017 Bidang Kesehatan. Ia pun berangkat ke Jakarta untuk menerima apresiasi bergengsi ini.
Tak pernah terbayangkan oleh Tria bahwa komunitas yang ia bangun akan membawanya sejauh ini. Semangatnya sempat reduh dan ia ingin berhenti. Namun, apresiasi dari Astra melecutkan kembali semangat juangnya untuk terus melanjutkan karya. Hadiah uang tunai dari Astra juga turut memperpanjang napas kebaikan lewat kegiatan-kegiatan sosial yang ia dedikasikan untuk para ODMK.
Hari ini, sudah lebih dari satu dekade perjuangan Tria lewat Griya Schizofren. Perasaan campur aduk kerap ia rasakan, kadang semangat kadang juga down. Bahkan, ia pernah merasa perjuangannya tidak berdampak. Namun, ia tetap memiliki harapan yang membuatnya bertahan untuk terus melakukan kebaikan lewat Griya Schizofren. Menurut Tria, masalah sosial tidak akan selesai hanya karena kita melakukan satu kebaikan, tapi jelas tidak akan pernah selesai kalau kita nggak ngapa-ngapain. Karena itulah, Tria terus memperpanjang napas perjuangannya agar karya dan kebaikan terus berkelanjutan.
#BersamaBerkaryaBerkelanjutan #KitaSATUIndonesia
Post a Comment
Post a Comment
meninggalkan komentar lebih baik daripada meninggalkan pacar. hehehe...