Bukit
itu menjulang di ketinggian 2900 Mdpl, tepatnya di sebelah tenggara Gunung
Bromo. Karena itulah, tak heran bila tempat ini dijuluki negeri atas awan. B-29
nama bukit itu. Tapi jangan salah sangka, ini sama sekali tak ada hubungannya
dengan merek sabun colek *lol. B-29 merupakan singkatan dari Bukit 2900, karena
letaknya di ketinggian 2900 Mdpl. Secara administratif, wilayah ini masuk Desa
Argosari, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, dan termasuk wilayah Taman
Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS).
Melihat
keindahan alam dari ketinggian 2900 Mdpl tentu memberi petualangan tersendiri. Maka pada awal bulan Mei lalu, saat mudik ke Jember, saya sempatkan
menyambangi B-29. Bersama Syafiq, adik saya, kami meluncur dari Klakah menuju
kota Lumajang. Dari kota Lumajang, jarak ke B-29 sekitar 40 km ke arah barat
atau butuh waktu sekitar 1,5 jam. Ikuti saja petunjuk arah menuju kecamatan
Senduro atau tepatnya menuju Pura Mandara Giri Semeru. Tak sampai seratus meter
sebelum pura, ada pertigaan, beloklah ke kiri jika ingin ke B-29. Sedangkan
arah lurus adalah arah menuju pura.
sumber gambar: eastjava.com |
Setelah
belok kiri, ikuti terus petunjuk arah ke B-29 atau Desa Argosari. Sepanjang
perjalanan menuju Desa Argosari, kami disuguhi pemandangan hutan
yang menghijau di kanan dan kiri jalan. Di
kejauhan sana, Semeru begitu anggun menampakkan puncaknya.
Begitu memasuki kawasan Desa
Argosari, kami tak lagi menjumpai jalan yang sebelumnya beraspal halus. Di
sinilah petualangan dimulai! Jalanan mulai menanjak dan berbatu. Tikungan tajam
berkelok-kelok membelah lahan sayur-sayuran milik penduduk. Kubis, wortel, dan
daun bawang tumbuh subur di atas lahan dengan kemiringan sekitar 50–60ยบ.
Salah seorang warga sedang berladang |
Beberapa rumah penduduk juga
difungsikan sebagai lahan parkir yang dilengkapi dengan warung-warung kecil.
Selama perjalanan menuju puncak, beberapa kali kami berpapasan dengan rombongan
yang baru turun. Mereka berjalan kaki dan menitipkan motor di rumah penduduk.
Memang terlalu berisiko jika motor tak cukup tangguh—apalagi
motor matic seperti yang kami kendarai waktu itu—namun
nekat ke puncak dengan naik motor.
Melihat jalan yang semakin ekstrem,
akhirnya kami menitipkan motor di rumah penduduk dan berjalan kaki. Namun, baru
setengah kilometer kami berjalan, langit mulai mendung. Khawatir kehujanan,
kami pun menerima tawaran naik ojek. Ya, penduduk Desa Argosari juga
menyediakan jasa ojek menuju puncak B-29. Tentu saja motor mereka telah
dimodifikasi dan disesuaikan dengan medan yang menanjak, berbatu, dan penuh
tikungan tajam.
Kami menggunakan satu motor untuk
bertiga ala cabe-cabean (saya, Syafiq, dan tukang ojek) dengan tarif 15 ribu untuk masing-masing
orang. Semakin ke atas, jalan semakin
ekstrem. Beberapa kali kami melewati tanjakan dan tikungan tajam yang licin,
mengharuskan kami turun dari motor. Setelah melewati medan yang memacu
adrenalin tersebut, akhirnya kami sampai di negeri atas awan. Yeayy!
Siang itu, B-29 cukup sepi karena
memang weekday. Namun beberapa warung masih buka. Jika
di bawah tadi cuaca mendadak mendung, namun ternyata cukup cerah di puncak.
Sampai di sini saya baru tahu bahwa tidak ada
tiket masuk alias gratis ntuk menikmati negeri di atas awan ini. Kami pun mengeksplor
setiap sudut dan mengabadikannya lewat lensa kamera.
Kami juga turun ke padang
rumput untuk melihat pemandangan dari sisi lain.
Mahameru begitu membiru siang
itu. Cerah tak tertutup awan membuatnya begitu menawan.
Sayangnya, bukan hanya pemandangan indah yang kami dapati, tetapi juga sampah yang tersembunyi di antara ilalang. Botol air
mineral, plastik bungkus snack, puntung rokok, cup mi instan,
semua bertebaran di antara rerumputan. Miris sekali. Kesadaran berwisata belum
disertai dengan kesadaran menjaga lingkungan. Maka siang itu, selain menikmati
indahnya negeri di atas awan, kami juga memunguti sampah yang kami temukan. Kami
kumpulkan sampah-sampah itu dalam kresek bungkus cemilan yang kami bawa.
Melihat kami memunguti
sampah, beberapa orang sempat bertanya, “Relawan ya, Mbak?’
“Bukan, Mas, saya malah
baru pertama kali ke sini,” jawab saya.
“Oh... kirain tiap hari ke
sini.”
Saya hanya bisa membatin, memunguti
sampah untuk dibuang di tempatnya tidak harus dilakukan oleh relawan, kan?
Ada tiga kresek sampah
yang kami bawa turun saat itu.
Namun sebelum turun, kami sempatkan memotret puncak Semeru dari sisi lain serta berfoto di
atas pohon yang tinggal batangnya. Entah pohon apa itu, yang
pasti pohon tersebut menjadi spot favorit untuk berfoto, terutama bagi
siapa pun yang suka foto pecicilan.
Santai di atas pohon |
Sebut saja perempuan yang memetik matahari. |
Kabut mulai bergerak turun |
Bahaya? Tidak juga! Pohon
ini tidak cukup tinggi, tapi cukup mengesankan sebuah ketinggian. Naiknya pun tidak susah. Cukup jaga keseimbangan ketika sampai di atas. Dan yang
pasti, jangan melakukan hal konyol, misalnya goyang dumang di atas pohon.
Hehehe....
Tertarik ke B-29? Siapkan
fisik dan motor yang tangguh. Kalaupun ingin menitipkan motor, cukup bayar tiga
ribu rupiah. Beberapa tempat parkir yang membuka warung kecil juga menyediakan
kaus B-9 dengan berbagai motif dan warna. Harganya 20 ribu dengan kualitas kain
yang tak bisa dikatakan bagus. Hehehe..., namanya juga 20 ribu. Tapi cukuplah
untuk sekadar kenang-kenangan. You get what you paid.
Dan yang tak kalah
penting, siapkan trashbag untuk membawa sampah turun. Jangan pernah
menahbiskan diri sebagai pencinta alam jika masih suka membuang sampah sembarangan!
Yogyakarta, Juli 2015
Beluuum..., belum ke sanaaa :D
ReplyDeleteHehe... Berangkat, Vind.
Deletenamaku terpampang :D
ReplyDelete