“Titik Nol”, judul buku itu. Saya lupa kapan pertama kali mengenal buku perjalanan ini. Tapi yang jelas, buku ini turut merawat mimpi saya untuk menjejakkan kaki di negeri India. Dengan gaya naratifnya, Agustinus Wibowo menggambarkan India lewat cerita-cerita serunya, yang mungkin bagi sebagian orang juga “mengerikan” sebagaimana stigma yang melekat pada India. Dari sekian banyak buku tentang perjalanan yang pernah saya baca, Titik Nol inilah yang begitu berkesan—bukan berarti buku lain tidak bagus.
Maka, saat melihat nama “Agustinus Wibowo” dalam deretan pembicara Ubud Writers and Readers Festival 2018, saya begitu antusias. Saya harus bisa mewawancarainya. Ini bukan kebetulan, tapi sepertinya semesta memang berkonspirasi untuk mempertemukan saya dengan penulis yang saya kagumi karya-karyanya.
The Big Read: Journeys, adalah satu dari sekian banyak sesi dalam rangkaian UWRF 2018 yang menampilkan para travel writers membacakan tulisan mereka. Salah satu penulis yang akan tampil adalah Agustinus Wibowo. Sesi ini dijadwalkan pada hari kedua UWRF 2018, 26 Oktober 2018, di Taman baca jam 13.00-14.15.
Agustinus Wibowo dalam sesi The Big Read: Journeys |
Saya sudah berada di Taman Baca satu jam sebelum The Big Read; Journeys dimulai, setelah sebelumnya mengikuti dua sesi diskusi bersama Haidar Baghir, Aan Mansyur, dan beberapa penulis lainnya. Menjelang jam satu siang, peserta sudah duduk rapi menempati kursi-kursi. Tapi, saya belum melihat sosok penulis yang saya tunggu-tunggu.
Dari deretan kursi ketiga, saya lihat dua orang perempuan menghampiri seseorang di deretan kursi paling depan. Lalu ia menandatangani sebuah buku bersampul biru dengan judul “Titik Nol”. Oh..., benar..., batin saya. Sebenarnya semalam saya sudah melihatnya saat makan malam usai konferensi pers London Book Fair. Tapi saya ragu untuk menyapa karena tak yakin bahwa dia adalah Agustinus Wibowo, apalagi dia terlihat sibuk. Foto lamanya yang ditampilkan saat pengumuman 12 penulis yang dikirim ke London Book Fair, sangat berbeda dengan aslinya.
Sesaat sebelum acara dimulai, saya menghampirinya, menyapa, dan tentu saja menyodorkan buku Titik Nol untuk ditandatangani.
“Lumajangnya mana, Mas?” tanya saya.
Sambil menandatangani buku, dia menjawab, “Lumajang kota. Dari Lumajang juga?”
“Enggak, dari Jember.”
“Owalah... tonggo dewe,” celetuknya dengan bahasa Jawa beraksen Jawa Timur.
Acara pun dimulai. Satu per satu para travel writers naik ke panggung dan membacakan karyanya dalam bahasa Inggris. Jika biasanya mereka bercerita lewa tulisan, kali ini mereka harus bercerita secara lisan. Pembaca pun menjadi pendengar.
Tiba giliran Agustinus Wibowo, dia membacakan penggalan cerita dalam buku “Zero” yang diterjemahkan dari Titik Nol. Pembacaan cerita diselingi dengan tawa para audiens karena Agustinus membacakan cerita tentang sekelompok pemuda di Pakistan yang sembunyi-sembunyi menonton film porno saat winter. Misi ini mereka sebut “Mission American Romance”. Terdengar konyol, tapi misi ini cukup menantang dan meningkatkan adrenalin. Apakah misi ini berhasil? Hahaha… baca saja bukunya.
***
Jam dua siang telah lewat beberapa menit. Sesi The Big Read: Journeys baru saja berakhir. Para penulis yang tadi membacakan cerita-ceritanya serta-merta diserbu oleh mereka yang ingin berfoto atau wawancara, termasuk Agustinus Wibowo. Beberapa wartawan yang sepertinya dari media asing, berjalan beriringan dengannya untuk melakukan wawancara. Saya sadar, slot untuk wawancara memang terbatas dan yang diprioritaskan adalah principal media partner, prioritas kedua adalah media partners, baru media supporters.
Di antara keriuhan suasana di Taman Baca pada siang menjelang sore itu, saya beranjak lesu dari kursi yang tempati sedari tadi. Saya menghampiri Mas Robby—teman satu tim dari GenPI, yang duduk tak jauh dari venue di Taman Baca. “Aku pengen banget wawancara Agustinus….”
“Ya udah, sana…. Itu kan orangnya.”
“Kayaknya nggak bisa. Sampai sekarang nggak ada email dari panitia, berarti slotnya udah penuh.” Saya hanya bisa menatap Agustinus yang berlalu bersama beberapa wartawan. “Slotnya cuma tiga, sih.”
Tak disangka, seorang perempuan yang duduk di samping saya, ternyata mendengar obrolan kami barusan.
“Mbak, mau wawancara Mas Agustinus, ya?” tanyanya.
Saya menoleh ke kiri, sedikit terkejut. “Iya, Mbak. Tapi slotnya udah penuh.”
“Saya LO-nya. Bisa diatur kalau Mbak mau wawancara. Tunggu di sini, ya. Nanti saya ajak Mas Agustinus ke sini kalau sudah selesai wawancara.”“Makasih banyak ya, Mbak.” Saya tidak tahu lagi harus ngomong apa. Tapi sebenarnya di dalam hati, saya bersorak girang.
Seperti sebuah kebetulan, bukan?
Empat puluh menit berlalu. Mbak LO datang menghampiri saya bersama Agustinus Wibowo. Ini beneran saya mau wawancara dia? Saya mendadak grogi. Tapi, keramahannya cukup mampu mengurangi rasa grogi saya. Apalagi di luar wawancara, kami justru lebih banyak menggunakan bahasa Jawa sehingga terasa lebih akrab, seperti bertemu tetangga atau teman lama.
“Pertanyaannya simpel kok, Mas,” ujar saya sebelum wawancara.
Dia tertawa. “Biasanya pertanyaan simpel, tapi jawaban yang nggak simpel.”Wawancara bisa ditonton di video ini:
Wawancara berjalan lancar dengan beberapa pertanyaan seputar travel writing hingga pasar buku. Hanya sekitar 10 menit, wawancara sudah selesai dan kami kembali ngobrol diselingi bahasa Jawa sesekali. Tak lupa, saya menyampaikan bahwa saya mengutip kata-kata Lam Li tentang laki-laki India di buku Titik Nol, untuk saya masukkan dalam tulisan saya yang juga tentang India.
“Gimana selama di India? Pernah mengalami pelecehan juga?” tanyanya.
Giliran saya yang bercerita sedikit tentang apa yang saya alami di India. Hingga hari semakin sore, dia pamit pergi dan saya mengucapkan terima kasih.
Terima kasih untuk keramahannya. Terima kasih untuk waktunya. Dan satu lagi, terima kasih untuk cerita-ceritanya yang menginspirasi cerita-cerita lain dalam hidup saya.
Terimakasih juga batas sharing pengalamannya. Banyak ilmu yang saya serap
ReplyDeleteSemoga bermanfaat amin...
Amin ya rabbal alamin
DeleteSeru ya bisa mendengarkan cerita-cerita dari travel writers. Beruntung banget mba bisa mewawancarai Agustinus Wibowo, kalau saya pasti udag grogi bingung nanya apa hehehe
ReplyDeleteAku juga agak grogi, Mbak. Deg-degan mau ketemu dia. hehehe...
Deletethanks sharingnya mba, saya jadi penasaran sama india juga nih gara-gara baca ini.
ReplyDeleteYuk ke India, sering ada promo tiket ke sana.
DeleteAsik bisa wawancara dengan orang hitz , hidup tidak ada yang di tahu.
ReplyDeleteTitik nol itulah awal semangat mencapai.
Waaaahh keren mbak bisa wawancara langsung Mas Agustinus Wibowo, kesempatan yang nggak boleh disia-siakan ya mbak.
ReplyDeleteIya, kesempatan langka, karena nggak tau lagi kapan bisa ketemu.
DeleteEh mba Ayun pernah ke India? Whaaa kereeen.. kapan2 ketemu aku wawancara juga yaaa, hahahaah.
ReplyDeleteAlhamdulillah, 2 kali ke India. Hehehe
DeleteBagus mbak ayun,menginspirasi catatannya, jadi dapat banyak pelajaran. Thanks sharingnya yah
ReplyDeleteSama-sama, Mbak Fenni. Terima kasih sudah mampir.
DeleteSeru ya bisa ketemu langsung sama travel writer. Btw, mbak pernah ke India? Berarti pernah ketemu juga kah sama para pemain film dan artis India?
ReplyDeleteIya, pernah ke India tapi nggak pernah ketemu artis. Pengen mampir ke rumah Shahrukh Khan tapi kejauhan. Wkwkwkwk
DeleteMbak menulis tentang pengalaman di India ya?? Waah keren tuh apalagi tentang kisah tajmahal atau kisah epik lainnya mantap.
ReplyDeleteIya, Mbak Emma. Doain lancar ya. Amin.
DeleteLondon Book Fair ini acaranya di London mba? Keren bisa ikutan acara begini. Semenjak Raisa ke india aku jadi suka kepo spot2 kece disana.
ReplyDeleteIya, Mbak, di London. Tapi ikut press-con aja waktu di Ubud kemarin.
Deleteduh, senangnya langsung ketemu dengan penulis yang bukunya sangat menginspirasi kita ya, mbak.
ReplyDeletebtw, mbak berapa lama berapa di India? memang sering terjadi pelecahan ya, mbak?
Pertama ke India tahun 2016 selama 3 bulan
DeleteKedua tahun 2018, seminggu aja.
Ya, warna-warni India, yang penting hati-hati, karena pelecehan bisa terjadi di mana saja, nggak cuma di India.
Beruntung banget mba, bisa ketemu sama orang-orang yang selalu menginspirasi.
ReplyDeleteDan kece banget mba, bisa nanya macam2.
Kebanyakan orang udah grogi duluan dan lupa apa yang akan ditanyain hehehe
Hahaa... aku sebenernya juga agak grogi, Mbak. Untung yang diwawancara orangnya ramah dan supel.
DeleteWah pasti happy banget ya mbak ketemu penulis yang menginspirasi, bisa dapat tandatangannya bahkan bisa mewawancarainya jg :D
ReplyDeleteBanget, Mbak. Mungkin Tuhan baru ngasih kesempatan ke UWRF tahun ini karena mau mempertemukan aku sama penulis favoritku ini.
DeleteSerunya ya bisa ikutan UWRF
ReplyDeleteAku sejak di Nakassar udah pengen ikutin inj tapi selalu terhalang sama harga tiket hahaha
Seru banget, seneng banget. Kebetulan kemarin saya masuk di tim liputan GenPI Kemenpar.
DeleteTerima kasih untuj catatannya yang ditulis dengan sangat apik mbak. Betapa dunia tulis-menulis itu luas ya? Aku makin maki ini makin ngerasa jadi seupil kayu di lautan 😂
ReplyDeleteHehehe... semangat, Mbak.
Deleteketje ini..bisa ikutan UWRF dan wawancara ke penulisnya.
ReplyDeleteJadi pengin masukin India ke bucket list nih..semoga bisa ke sana
Amin...
DeleteIndia keren lo, Mbak.
Mba Ayun keren bisa wawancara Mas Agustinus Wibowo dan Mba Ayun juga ditanya balik sama Beliau, jadi saling sharing cerita inspiratif ya Mba..
ReplyDeleteIya, Mas Agus ramaah banget dan nggak sok seleb, bener-bener down to earth.
DeleteThis comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeleteSetuju banget, kalau ada pertanyaan simple kadang jawabnya mikir keras. Bagus juga nih bukunya buat rekomendasi bacaan
ReplyDeleteBukunya sangat recommended, Mbak. Tebal sih, tapi nggak bikin bosan.
DeleteAku gak ngefans sih, tp kalo baca ceritamu dia seramah itu, bs menggantikan mamas nih kalo ku bs kenal. *Ehgimana? Wkwkwkwk
ReplyDeleteHeh, nggak usah genit. Dia nggak mau sama kamu.
Delete