-->

Sehari Berbagi dalam Kelas Inspirasi Jember



“Mendidik adalah tanggung jawab setiap orang terdidik. Berarti juga, anak-anak yang tidak terdidik di Republik ini adalah "dosa" setiap orang terdidik yang dimiliki di Republik ini. Anak-anak nusantara tidak berbeda. Mereka semua berpotensi. Mereka hanya dibedakan oleh keadaan.”
(Anies Baswedan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia)

                    

“Kelas Inspirasi itu dibayar nggak, sih? Atau paling nggak, ada biaya transport?” Pertanyaan itu pernah ditujukan kepada saya ketika seorang teman mengetahui bahwa untuk kedua kalinya saya akan menjadi relawan pengajar Kelas Inspirasi. Kali ini saya memilih Jember, kampung halaman saya, agar bisa sekalian mengunjungi keluarga.
Apakah relawan Kelas Inspirasi dibayar? Tentu saja! Jika tak percaya, coba saja menjadi relawan dan kamu akan tahu seberapa besar bayaran yang kamu dapat. Berbaur dengan murid-murid SD, bermain, belajar, dan menceritakan profesi adalah kebahagiaan tersendiri, termasuk menghadapi tingkah dan karakter mereka yang beragam, yang kemudian menjadi tantangan bagi saya sebagai guru sehari di hadapan mereka. Dan, semua itu adalah pengalaman istimewa yang nilainya tak bisa diukur dengan materi. Priceless!
Pagi-pagi sekali, saya dan teman-teman relawan lainnya berangkat menuju SDN Pace 4, Silo. Total ada 11 orang di kelompok kami, yang terdiri dari 5 pengajar, 2 fotografer, 2 videografer, 1 panitia, dan 1 fasilitator. Dari kota Jember, kami melewati jalan raya Jember-Banyuwangi yang cukup ramai pagi itu karena merupakan jalur utama yang menghubungkan Kabupaten Jember dan Kabupten Banyuwangi. Sekitar satu jam waktu yang kami butuhkan untuk menuju lokasi, dengan melewati jalan yang sepi di antara perkebunan pinus dan kopi. Semua berjalan lancar meski diwarwani “tragedi” ban motor yang bocor sebelum kami sampai di SDN Pace 4 yang letaknya juga tak jauh dari perkebunan dan lumayan mblusuk.
Wajah-wajah ceria menyambut kedatangan kami pagi itu. Murid-murid berbaris rapi di halaman sekolah, dan kami memperkenalkan diri satu per satu sebelum masuk kelas. Di jam pertama, saya mengajar kelas 6. Begitu memasuki ruangan, berpasang-pasang mata tertuju kepada saya. Saya tersenyum dan menyapa mereka. Namun, saya agak heran mendapati beberapa murid laki-laki yang memakai kacamata hitam di dalam ruangan.


Nyanyi bersama:
4 di tangan kananku, 4 di tangan kiriku. Kugabung 8 menjadi kelinci.
Saya simpan keheranan tersebut dengan memperkenalkan profesi saya sebagai penulis, menunjukkan buku yang pada sampulnya tertera nama saya, membacakan cerita untuk mereka, dan mengajak mereka praktik menulis. Saya beri mereka pilihan untuk bercerita tentang hewan peliharaan, hobi, keluarga, atau cita-cita.
Adalah Fiko, salah seorang murid berkacamata hitam dan memakai anting tempelan, yang cukup banyak tingkah dan sering iseng mengganggu temannya. Saya dekati dia, saya ajak bicara, dan saya tanyakan apa cita-citanya.
Alako bank,”  jawabnya dalam bahasa Madura yang begitu kental.
Saya tersenyum dan bertanya lagi, “Kok kamu suka pakai kacamata hitam dan anting? Pengen jadi artis juga?”
Ia tertawa sebelum berkata dengan polosnya, “Biar gaul, Kak.”
Kali ini saya tak hanya tersenyum, tapi juga tertawa. Seperti itulah gambaran “anak gaul” versi bocah SD yang tinggal di kampung kecil, di antara perkebunan karet dan kopi.



Bersama Fiko

Pada jam pelajaran selanjutnya, saya mengajar kelas 4 dan 5 yang digabung menjadi satu kelas karena jumlah murid memang sedikit. Di kelas ini, saya masih menerapkan metode yang sama dengan kelas 6. Di sinilah saya menemukan bibit penulis—semoga saja dia benar-benar menjadi penulis—dalam diri seorang bocah bernama Dandi. Saat meminta mereka menulis tentang hewan peliharaan dan kebanyakan mentok hanya mampu menulis 2–3 kalimat, ia mampu menulis 6 kalimat untuk mendeskripsikan ikan cupangnya yang berwarna biru. Kalimatnya juga utuh sesuai pola SPOK. Saya meminta Dandi membacakan tulisannya di depan dan memberinya reward sebatang cokelat.



Sebelum menutup kelas, saya memberikan tips sukses yang saya jadikan akronim MERAH PUTIH, yaitu MEmbaca, RAjin, Harus jujur, PUnya cita-cita, TIdak malas, Harus berdoa.

Membacakan cerita

Pada sesi ketiga, saya mengajar kelas 3. Setelah memperkenalkan diri, saya mencoba mencuri perhatian mereka dengan membacakan cerita dari buku yang saya bawa. Biasanya, anak-anak seusia mereka akan antusias dan menyimak dengan saksama jika dibacakan cerita. Itulah yang saya terapkan. Jadi, sebelum menceritakan profesi, saya membacakan cerita terlebih dahulu. Dan, jurus ini cukup jitu mencuri perhatian mereka pada pandangan pertama. Baru setelah itu, saya jelaskan bahwa profesi saya sangat berhubungan erat dengan buku. Menjelang akhir kegiatan, saya menemani mereka menuliskan cita-cita pada banner yang sudah disediakan oleh panitia.


Ini cita-citaku, mana cita-citamu?



 
Adalah kebahagiaan tersendiri melihat mereka bersama-sama menuliskan cita-cita; jadi astronot, dokter gigi, guru, polisi, bahkan artis. Saya jadi teringat cita-cita saat SD dulu. Cita-cita saya mainstream, yaitu menjadi guru. Namun karena masih labil, cita-cita itu pun berubah sejak saya mengenal puisi Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib. Saya yang saat itu masih kelas 3 atau 4 SD tiba-tiba bercita-cita menjadi sastrawan—padahal sebagai anak SD saya tak paham sastra itu apa—penulis, atau wartawan, pokoknya yang berhubungan dengan tulis menulis. And dream comes true. I am an author now!
Usai menulis cita-cita, sambil menunggu penutupan, saya ajak mereka bermain dan mengabadikan senyum serta tawa riang mereka lewat kamera ponsel saya.



Acara penutupan pun tiba. Seperti pagi tadi, mereka berbaris rapi di halaman sekolah yang dinaungi pepohonan. Satu per satu, para pengajar menyampaikan pesan dan harapan kepada murid-murid SDN Pace 4. “Saya berharap, suatu saat, ketika pergi ke toko buku, saya bisa menemukan buku yang ditulis oleh alumni SDN Pace 4,” ujar saya siang itu mengakhiri jumpa dengan para murid.
Dan, sesi selanjutnya adalah foto bersama!





Menempuh perjalanan jauh dari Jogja ke Jember, meluangkan waktu, juga dana, semua adalah pilihan yang saya ambil tanpa paksaan. Sebab saya yakin, tak ada yang sia-sia dari sebuah ketulusan.


                                                                                               Jember-Yogyakarta, November 2015


Thanks to:
Pak Guru Arif serta murid-muridnya yang jadi fotografer dan videografer, Mbak Pipit fotografer, Mas Fauzi dari RSUD. Kaliwates, dokter-dokter cantik; drg. Afiena dan drg. Via, serta dr. Mega (sssttt... dia calon ketua WHO *amin*), tak lupa buat Rossa, fasilitator yang penuh semangat, yang sudah jemput saya ke stasiun dan mengantar ke terminal, serta nemenin makan di alun-alun dan nyipok di Markas Cipok. Kalian luar biasa!!!   

Ayun
Menulis buku Unforgettable India dan mengedit banyak buku lainnya.

Related Posts

4 comments

  1. Replies
    1. Iya, Mbak. Yuk gabung KI Jogja tahun depan. :D

      Delete
  2. Yeiy yeiy yeiy ,,, Akhir November saya menyusul jejak mabk Ayun :) jadi Relwan Pengajar di Jember #4 semoga bisa menginspirasi juga seperti mabk Ayun

    ReplyDelete
    Replies
    1. Semangat yaa... kalian. Aku absen dulu di KIJ. Mau ikut KI Tegal.

      Delete

Post a Comment

meninggalkan komentar lebih baik daripada meninggalkan pacar. hehehe...

Subscribe Our Newsletter