“Jangan tanyakan apa yang negara
ini berikan kepadamu, tapi tanyakan apa yang telah kamu berikan kepada negaramu.”
John F. Kennedy
Sebenarnya,
saya sudah lama ingin bergabung dengan Kelas Inspirasi. Tapi—kadang saya benci
kata tapi—baru kali ini saya sempat menjadi bagian dari Kelas Inspirasi.
Ah, senangnya ketika 18 Agustus lalu, sepulang mendaki Gunung Merbabu, tepat
ketika ponsel tersambung dengan sinyal internet, masuklah email dari
panitia Kelas Inspirasi Semarang 2 yang memberitahukan bahwa saya lolos sebagai
relawan pengajar. Saya masuk kelompok dua, dan di sinilah saya bertemu
orang-orang luar biasa dengan latar belakang profesi yang berbeda dengan saya.
relawan pengajar |
Setelah
briefing tanggal 28 Agustus dan menyiapkan segalau sesuatunya, baik
keperluan pribadi maupun kelompok, hari inspirasi itu pun tiba. Saya yang
menginap di rumah Mbak Anis, salah satu relawan pengajar, sudah nervous
sejak pagi sebelum berangkat. Saya lumayan sering berbicara di depan publik,
tapi... berbicara di depan murid-murid SD, terutama kelas satu dan dua, pasti
butuh skill tersendiri. Modul dari panitia sudah saya khatamkan, tapi
itu kan sebatas teori. Praktiknya? Let’s see!
Perjalanan
yang hectic pagi itu akhirnya sampai di tujuan, sebuah MI sederhana di
pinggiran Kabupaten Semarang, tepatnya Desa Bambankerep. MI Rhaudatul Athfal,
demikian tulisan yang terpampang di papan nama sekolah. Lokasi MI ini terbilang
mblusuk, sampai-sampai Mbak Anis kesulitan memarkir mobilnya dan harus
dibantu oleh beberapa orang untuk mengarahkan.
Namun,
semua itu tak mengurangi semangat saya untuk bertemu adik-adik di MI Raudhatul
Athfal. Di jam pelajaran pertama saya tidak dapat tugas mengajar, hanya
menunggu di ruangan lain bersama relawan lain yang juga tidak mendapat jadwal
di jam pertama. Selama menunggu tersebut, sebenarnya saya cukup nervous
membayangkan akan mengajar murid kelas satu. Dan... akhirnya, bel tanda ganti
jam pelajaran pun berbunyi. Saya masuk ruang kelas satu yang disambut senyum
dan tawa murid-murid.
Bang!
Demikian teori yang dijelaskan dalam modul, yaitu membuka kelas dengan sesuatu
yang menarik perhatian mereka.
Saya
pun meminta mereka untuk tepuk diam.
Tepuk
diam!!!
Mereka
menyambut dengan tepukan tangan yang kompak. Lantas?
Setelah
memperkenalkan diri, saya menyanyi. Iya, saya menyanyi dan memeragakan dengan
gerak tangan. Demi mereka! Hahaha....
Satu di tangan kananku
satu di tangan kiriku
Kugabung jadi dua
menjadi jembatan
Dua di tangan kananku
dua di tangan kiriku
Kugabung jadi empat
menjadi kamera
Tiga di tangan kananku
tiga di tangan kiriku
Kugabung jadi enam
menjadi menara
Empat di tangan kananku
empat di tangan kiriku
Kugabung jadi delapan
menjadi kelinci
Lima di tangan kananku
lima di tangan kiriku
Kugabung jadi sepuluh
Mari baca buku
Saya
mengulangi lagu itu sekali lagi bersama mereka yang antusias menirukan gerak
tangan saya.
“Siapa
yang suka baca buku?” tanya saya.
Mayoritas
dari mereka mengangkat tangan sambil berteriak, “Saya... saya....”
“Buku
apa?”
“Bahasa
Indonesia!”
“Matematika!”
Saya
tersenyum mendengar jawaban mereka. Lalu, saya jelaskan sekilas mengenai
pekerjaan saya sebagai editor. Kata editor tentu sangat asing bagi anak
kelas satu SD, karena itulah saya sederhanakan tugas editor sebagai orang yang
mengoreksi buku sebelum dicetak—padahal tugas editor lebih dari mengoreksi. Saya
tunjukkan foto-foto proses pembuatan buku pada lembaran kertas yang telah saya
siapkan. Mereka tampak heran melihat gambar mesin besar untuk mencetak buku. Dengan
bahasa sesederhana mungkin saya berusaha menjelaskan alur pembuatan buku dan
peran saya di dalamnya.
Selesai
menjelaskan, waktu masih tersisa sekitar lima belas menit. Duh, mati gaya! Saya
harus ngapain? Akhirnya, saya membacakan cerita bergambar dari buku yang saya
bawa. Beberapa anak anteng nyimak cerita saya, tapi beberapa anak di bangku
belakang mulai ribut dan berebut sesuatu. Untuk menyiasati kondisi tersebut,
saya minta salah satu dari mereka maju untuk membacakan cerita.
“Siapa
yang berani membaca cerita di depan?” tanya saya.
Diam.
Tak ada jawaban, sampai akhirnya saya menunjuk salah satu murid. Ia pun maju. Tapi...,
teman-temannya juga mengekor di belakangnya. Iki piye to? Tadi disuruh
baca nggak ada yang mau, giliran yang satu mau, yang lain ikut maju. Hahaha...
begitulah anak-anak.
Akhirnya,
mereka bergantian membaca dan saya harus mengatur agar mereka tidak rebutan.
Selesai
mengajar kelas satu yang cukup membuat saya dehidrasi, saya mendapat jadwal di
kelas empat. Cukup santai mengajar di kelas ini. Anak-anak manis yang duduk
rapi, teratur, dan tak banyak tingkah seperti kelas satu membuat saya tak perlu
menguras banyak energi. Seperti di kelas sebelumnya, saya mengajak mereka
bernyanyi, membaca cerita, dan mengenalkan profesi saya.
Tugas
mengajar berlanjut ke kelas dua. Kata teman-teman relawan yang sebelumnya
mengajar kelas dua, kelas ini merupakan tantangan luar biasa, bahkan melebihi
kelas satu. Omg! Kelas satu saja sudah cukup membuat saya dehidrasi, apalagi
kelas dua. But the show must go on! Mantap saya melangkah memasuki kelas
dua. Setelah meminta mereka bertepuk diam dan saya memperkenalkan diri, saya
berusaha menarik perhatian mereka dengan cerita. Saya bacakan cerita tentang harimau,
gajah, kancil, dan hewan-hewan lain penghuni hutan. Meski tulisan yang tertera
di buku hanya dua paragraf, namun saya menambahkan cerita versi saya dengan
penyampaian yang ekspresif. Dan, saya berhasil mencuri perhatian mereka!
“Bunyi
harimau gimana? Bunyi gajah gimana?” tanya saya di sela-sela pembacaan cerita.
Mereka
begitu ekspresif menirukannya. Setelah perhatian mereka jadi milik saya,
barulah saya jelaskan profesi saya dan kaitannya dengan buku. Tak lupa saya mengajak
mereka menyanyi dan membaca cerita lainnya. Terakhir, setelah pamit, salah
seorang murid berkata, “Kak, saya mau salim.”
Ia
maju menyalami saya dan disusul teman-temannya. Aih..., senangnya melihat
mereka!
Selanjutnya,
sebelum sesi penutupan, saya menemani murid-murid kelas lima menempel cita-cita
mereka di pohon cita-cita.
Adalah keseruan tersendiri melihat mereka dengan
antusias menuliskan cita-cita dan menempelkannya. Di situlah tebersit harap
doa agar cita-cita mereka tercapai, walaupun mereka bukan siapa-siapa saya. Setidaknya,
datang ke sekolah ini merupakan hal kecil yang bisa saya lakukan untuk generasi
muda negeri ini agar mereka berani bercita-cita. Awalnya, saya berharap bisa
menginspirasi mereka melalui profesi saya, namun ternyata merekalah yang menginspirasi
saya. Terima kasih! Beranilah bercita-cita dan mewujudkannya!
Yogyakarta,
Oktober 2015
sbenarnya saya pingin jadi pengajar kelas inspirasi, ahh..tapi terbentur usia deh kayaknya
ReplyDeleteGak ada batasan usia, Bu. Semangattt!!! :D
DeleteTerima kasih banyak atas inspirasinya ya mbak. Smoga bsok di tanggak 25-26 Nov 2016 saya juga nggak deg deg ser dan mampu menangani kelas dg berbagi profesi saya ini hhhee (h) :)
ReplyDeleteSemangaattt... seru lo! Sayangnya tahun ini aku absen di KIJ. Tapi ada temenku dosen UNEJ ikut KIJ.
Delete