-->

Manisnya Kicak, Manisnya Kebaikan di Bulan Ramadan

Kamis dini hari itu, saya terjaga saat ibu kos yang akrab kami sapa Ibuk memanggil-manggil saya  sambil mengetuk pintu kamar. “Iya, Buk... sudah bangun,” jawab saya, sementara mata masih belum sepenuhnya terbuka. Mendengar jawaban saya, Ibuk ganti mengetuk kamar-kamar lain untuk membangunkan penghuninya.

Pagi itu adalah sahur pertama di bulan Ramadan tahun ini. Seperti tahun-tahun sebelumnya, Ibuk hampir selalu menjadi orang pertama yang bangun, lalu berkeliling membangunkan anak-anak kosnya. Bahkan, kadang Ibuk juga tak cukup sekali membangunkan teman kos yang kalau sudah tidur nyaris seperti tak bernyawa. Semua itu dilakukan oleh Ibuk agar tak ada satu pun di antara kami yang melewatkan santap sahur untuk energi berpuasa siang harinya. Padahal, Ibuk sendiri tak pernah berpuasa Ramadan. Tentu saja, sebab Ibuk memang tidak beragama Islam, melainkan Katholik.

Namun, dia yang berbeda keyakinan itulah yang justru rajin membangunkan kami selama bulan Ramadan. Bahkan, beberapa hari sebelum Ramadan, Ibuk mengatakan kepada saya bahwa dia baru saja membeli labu untuk bahan takjil saat puasa nanti. Lalu tebersit ide, bagaimana jika sesekali saya berbagi takjil dengan Ibuk, meski dia tidak puasa? Tapi, takjil apa, ya? Saya ingin memberikan takjil yang istimewa, yang hanya ada saat bulan Ramadan.

***

Menjelang sore, gang sempit sepanjang 150 meter di Kampung Kauman itu riuh oleh pedagang dan pembeli yang berlalu-lalang, datang dan pergi. Berdiri sejak tahun 1980an, Pasar Ramadan Kauman merupakan pusat kuliner Ramadan tertua di Yogyakarta. Dinding gang yang sebagian berlumut dan usang menandakan betapa gang sempit ini telah menjadi saksi geliat pasar Ramadan di Kampung Kauman sejak puluhan tahun silam.
Pintu Masuk Pasar Ramadan Kauman
Sampai saat ini, Pasar Ramadan Kauman yang berlokasi di RW 10 Kampung Kauman, Jalan Ahmad Dahlan, tetap menjadi salah satu destinasi favorit untuk ngabuburit. Lokasinya yang strategis di pinggir jalan raya membuat pasar sore ini mudah dijangkau. Dari titik nol kilometer Yogyakarta, kita cukup berjalan lurus ke arah barat atau arah RS. PKU Muhammadiyah. Tak jauh dari rumah sakit, ada gang (bukan gang yang tepat di depan RS) dengan berbagai hiasan. Masuklah ke gang tersebut, dan tampak deretan lapak pedagang takjil berjajar rapi di pinggir gang. Warni-warni jajanan, hiasan di ujung gang, dan keramaian pengunjung membuat suasana Ramadan begitu semarak.

Clorot, Mbak?” seorang ibu menawari saya. Dia adalah pedagang pertama di ujung gang, tepat setelah pintu masuk.
“Nanti saja, Bu, masih mau jalan ke sana,” jawab saya, “nanti saya beli di sini deh, Bu.”

Saya pun melanjutkan langkah pelan-pelan sambil melihat-lihat aneka takjil. Makanan yang kebanyakan adalah menu-menu tradisional, baik makanan berat, sayur dan lauk, makanan ringan, hingga minuman. Pecel, gudangan, gudeg, bubur saren, kicak, mentho, carang gesing, clorot, berongkos, aneka es, dan masih banyak lagi berbagai menu takjil yang dijual. Jika asing dengan nama-nama makanan di sini, jangan ragu untuk bertanya kepada pedagangnya. Dengan ramah, mereka akan menjelaskan apa saja bahan dasar makanan tersebut.


Pedagang di Pasar Ramadan Kauman
Di zaman sekarang, tak jarang generasi millenial dan generasi Z yang mulai asing dengan nama-nama makanan tradisional. Bukan hanya karena gempuran kuliner kekinian yang hit di media sosial, tetapi juga karena sebagian makanan tradisional sudah mulai sulit ditemukan. Nah, Pasar Ramadan Kauman ini selain menyemarakkan Ramadan juga menjadi media untuk mengenalkan kembali kuliner dari zaman leluhur agar tidak terlupakan.

Di antara banyak makanan tradisional yang dijual di Pasar Ramadan Kauman, kicak merupakan makanan khas Kauman yang legendaris. Uniknya, jajanan ini hanya ada di Kauman saat bulan Ramadan. Tak heran, banyak orang yang membeli kicak untuk menu berbuka puasa. Saat saya menyusuri gang kecil tersebut, para pedagang paling sering menawarkan kicak.
Kicak khas Kauman
Langkah kaki saya terhenti pada lapak seorang wanita paruh baya. Di mejanya, tertata bermacam makanan tradisional. Salah satunya, tentu saja adalah kicak. Saya mengamati kicak yang dikemas rapi di dalam mika kecil, di antara jajanan-jajanan lain yang disajikan.

“Ini cuma ada pas puasa lo, Mbak,” jelasnya. “Mau ambil berapa?”
“Empat bungkus ya, Bu,” jawab saya.

Kicak terbuat dari ketan yang ditumbuk dengan campuran kelapa, gula, dan vanili. Untuk menambah aroma sedap, kicak diberi topping irisan nangka dan daun pandan. Rasanya yang manis dan sedikit gurih cocok untuk buka puasa. Entah siapa yang awalnya membuat kicak sebagai menu Ramadan khas Kauman. Tetapi yang jelas, kicak sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari Ramadan di Kampung Kauman. Kicak seolah menjadi penanda bahwa bulan suci telah tiba.

Aneka jajanan di Pasar Ramadan Kauman
Selain membeli kicak, saya juga membeli clorot kepada ibu di ujung gang yang pertama kali menyapa saya. Dia hanya khusus menjual clorot tanpa jajajan lain. Kedua ujung bibirnya membentuk senyum saat kami bertukar uang sejumlah Rp12.000,00 dengan seikat clorot berisi 10 batang. Saya teringat Ibuk, pasti wajahnya juga akan berhias senyum saat saya memberikan kicak dan clorot ini. Ibuk akan lebih senang menikmati jajanan tradisional yang langka seperti ini daripada makanan kekinian yang viral di media sosial.

Hari semakin sore saat saya selesai menyusuri Pasar Ramadan Kauman dan membawa beberapa kresek makanan. Saya bergegas ke Masjid Gede Kauman yang tak jauh dari Pasar Ramadan Kauman untuk melaksanakan shalat Maghrib. Tepat ketika adzan Maghrib berkumandang, saya teguk air mineral dengan penuh syukur.

Saya bersyukur diberi rezeki untuk berbuka puasa. Saya bersyukur diberi kemampuan menjalankan puasa. Dan yang jelas, sambil melirik kresek berisi kicak dan clorot, saya bersyukur ada Ibuk yang tak bosan membangunkan saya dan anak-anak kosnya untuk sahur, bahkan kadang juga menyediakan takjil. Kebaikannya memang sederhana, tetapi begitu manis seperti kesederhanaan dan manisnya kicak khas Kauman. Memang, hanya umat Islam yang diwajibkan berpuasa di bulan Ramadan. Namun, pintu untuk berbuat baik terbuka bagi siapa saja, tanpa perlu bertanya “agamamu apa?”.

Ayun
Menulis buku Unforgettable India dan mengedit banyak buku lainnya.

Related Posts

4 comments

  1. Tulisanmu juga maniiss. Ini pasti juara lagi ��

    ReplyDelete
    Replies
    1. Senyumku juga manis, Kak. Hehehe...
      Amin amin ya rabbal alamin

      Delete
  2. Asyik banget bayangin pilihan menu dan camilan yg begitu banyak buat berbuka. Memang betul, selama ramadhan siapa pun kecipratan berkahnya, ga cuma muslim

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, ibunya temenku yang Kristen juga sering dapat pesenan kue kering kalo Ramadan.

      Delete

Post a Comment

meninggalkan komentar lebih baik daripada meninggalkan pacar. hehehe...

Subscribe Our Newsletter