-->

Dari 0 Mdpl Menuju 1726 Mdpl




Kalian belum pernah mendaki gunung mana pun?
Ayo, Anak muda, negeri kita ini punya ratusan gunung, satu-dua bahkan ada di “halaman belakang rumah” kita—saking dekatnya.
Dakilah gunung. Bukan agar kita bisa berdiri di atasnya, untuk kemudian berfoto-foto, dan dipamerkan di sosial media. Melainkan itu akan memberikan pengalaman baru yang baik.
(Tere Liye)

Gunung atau pantai? Saya selalu memilih pantai. Ya, saya adalah pencinta 0 Mdpl. Tak masalah dengan kulit yang terbakar karena cuaca panas di pantai. Saya menyukai pantai dengan segala panas dan asin airnya yang membuat kulit terasa lengket. Tapi, tak ada salahnya kan mencoba petualangan lain, melihat alam dari sudut pandang lain, dan mencari pengalaman baru? Maka, dipilihlah Gunung Andong sebagai destinasi kali ini.
Dan pagi itu, tepat tanggal 2 Juni 2015, saya berkemas. Dengan menggendong carrier 35 liter berisi logistik, jaket, selimut, dan perlengkapan lainnya, saya menuju Stasiun Lempuyangan untuk berangkat ke Solo menggunakan Prameks. Rencana awalnya, saya dan teman-teman di Solo akan berangkat ke Magelang jam 13.00. Kami berempat—saya, Ika, Aji Mustika, dan Bayu—sepakat akan bertemu di Indomaret Boyolali. Namun, sampai jam satu siang, Bayu tak bisa dihubungi, sementara saya dan Ika sudah menunggu sejak tadi. Baru sekitar jam dua, Bayu berhasil dihubungi via telepon dengan suara berat khas orang bangun tidur. Hahaha.... Betul dugaan kami, ternyata dia tidur.
Sekitar jam tiga, kami pun berkumpul di meeting point yang telah disepakati bersama. Usai berdoa, kami meluncur dengan dua motor menuju Magelang. Perjalanan dari Boyolali, Salatiga, hingga Magelang memakan waktu sekitar 1,5 jam. Namun, kami berhenti sejenak untuk shalat Ashar, istirahat, menata barang bawaan, dan sekalian shalat Maghrib di masjid yang terletak di perkampungan sebelum basecamp, baru melanjutkan perjalanan ke basecamp yang bernama Taruna Jaya Giri. Basecamp ini terletak di Dusun Sawit, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang.
Peta jalur pendakian yang terdapat di basecamp

Sampai di basecamp, kami segera registrasi dengan tarif 3 ribu rupiah per orang. Tarif parkir juga 3 ribu rupiah per motor. Basecamp ini juga dilengkapi dengan toilet, warung makan, tempat istirahat, dan penyewaan perlengkapan mendaki, seperti tenda, matras, senter, dan lain-lain. Kami juga menyewa matras di basecamp ini.
Usai istirahat sejenak di basecamp, inilah saatnya memulai pendakian. Sekitar jam delapan malam, kami mulai mendaki. Dari balik pucuk-pucuk pinus, purnama malam itu ikut menyaksikan langkah-langkah kami. Dan saya—yang baru pertama kali mendaki gunung—nyaris merasa tak percaya bahwa saya bisa sampai di sini, menikmati malam di alam terbuka dengan langkah-langkah menuju puncak.
Bagi newbie seperti saya, Gunung Andong sangat recomended untuk latihan mendaki, karena medannya tidak terlalu curam dan menantang, bahkan jalan menuju puncak sudah berbentuk tangga sederhana. Namun, kita tetap tidak boleh mengabaikan kehati-hatian, karena batu-batunya cukup licin dan siap menggelincirkan siapa pun bila tidak hati-hati. Karena itulah, kami tetap membawa senter sebagai penerang meski bulan purnama begitu setia menerangi perjalanan kami.
Purnama menatap kami dari balik pucuk-pucuk pinus

Bayu, yang paling berpengalaman dalam pendakian, berjalan paling depan sambil membawa senter. Saya berjalan di belakangnya, kemudian Ika, dan yang paling belakang adalah Aji Mustika. Di sepanjang perjalanan, kami berkaliab-kali berpapasan dengan para pendaki yang baru turun. Beberapa yang lain juga baru naik seperti kami. Namun, kami berjalan sangat santai malam itu.
“Kita tidak sedang mengejar sesuatu,” begitulah yang sering kami katakan di sepanjang perjalanan. Beberapa kali kami berhenti untuk sekadar meneguk air mineral dan makan cemilan sambil ngobrol. Perjalanan seperti ini memang tidak akan membuat kami lekas sampai di puncak, namun justru membuat kami hemat tenaga dan tidak terlalu capek. Sebab bagi kami, puncak bukan tujuan. Tujuan utama adalah pulang ke rumah dengan sehat dan selamat. Maka, inilah cara yang kami pilih untuk mendaki. Kami berjalan pelan-pelan sambil menikmati suasana alam. Sementara di atas sana, purnama masih setia membagi cahayanya dari balik pucuk-pucuk pinus.
“Semangat...!!! Dua tikungan lagi,” kata Bayu menyemangati.
Kami terus berjalan membelah hutan dan malam yang temaram di bawah sinar bulan. Lalu tiba-tiba, Aji Mustika nyeletuk setengah protes, “Katanya dua tikungan lagi....”
“Makanya, jangan percaya ucapan pendaki. Hehehe...,” sahut Ika.
Kaki sudah mulai terasa sedikit pegal. Tapi puncak tinggal sedikit lagi. Ya, sedikit lagi. Meski puncak bukanlah tujuan, tapi mendaki gunung hingga puncak adalah suatu kebahagiaan. Kami mengikuti petunjuk arah menuju puncak.
Selangkah... dua langkah... tiga langkah... dan... tibalah kami di puncak setelah berjalan kurang lebih dua jam. Puncak Andong malam itu tak begitu ramai, karena bukan weekend. Berbeda jauh dengan kondisi ketika Ika dan Bayu ke sini beberapa minggu lalu. Tenda-tenda para pendaki memenuhi puncak Gunung Andong hingga nyaris tak ada space kosong. Tapi malam itu, kami bebas mencari tempat untuk mendirikan tenda. Kami memilih tempat yang agak jauh dari puncak utama, yakni di bagian punggung, di bawah puncak makam yang biasa diziarahi masyarakat.
Tenda telah berdiri, kompor telah menyala, dan air telah mendidih diselimuti kabut yang membalut puncak Andong. Aroma kopi menguar seiring kabut yang masih enggan pergi. Kami menyesapnya pelan-pelan, di tengah cuaca dingin 17˚C, diiringi lagu-lagunya Banda Neira dan Nicholas Saputra yang membacakan puisi-puisi Soe Hok Gie. Sementara di atas sana, purnama masih setia menatap kami. Sinarnya yang temaram menembus kabus tipis, seolah membagi kedamaian kepada setiap pendaki.

***

            Saya terbangun ketika mendengar percakapan Bayu dan Aji Mustika di luar tenda. Semalaman mereka menghabiskan waktu di luar, menikmati kerlip bintang dan lampu-lampu di bawah sana setelah kabut lenyap. Mereka ngobrol (dan curhat) berdua. Duh, romantis sekali. Hahaha....
            Pagi itu, setelah shalat Subuh berjamaah yang diimami oleh Imam Aji Mustika, kami bersiap menunggu matahari terbit.
Tuhan tidak akan menanyakan setinggi apa gunung yang kau daki. Tapi Dia akan menanyakan apakah kau masih shalat saat mendaki gunung itu.

Ufuk timur telah dipenuhi semburat warna jingga dan kebiruan, menandakan matahari sedang bersolek sebelum menampakkan kecantikannya. Kami bergegas menuju puncak timur, melangkah di antara tenda-tenda para pendaki yang juga bersiap menyambut matahari terbit.
        Semburat jingga di timur sana semakin kentara. Perlahan, sorot sinar matahari mulai membentuk gradasi warna dari balik awan yang tersibak. Dengan latar puncak Telomoyo, detik-detik menjelang matahari terbit tampak begitu cantik. Gradasi warnanya lembut, namun energinya mampu menerangi semesta. Ah, betapa Tuhan Maha kreatif, ya. Ini memang matahari yang sama dengan yang saya saksikan setiap hari dari samping kos, tapi kini saya menyaksiknnya dengan sudut pandang yang berbeda, di ketinggian 1726 Mdpl.



    Beruntung sekali kami pagi itu, sebab kabut tak merenggut pandangan mata kami untuk menyaksikan kemegahan matahari terbit dari Puncak Andong. Kabut pagi lebih memilih Merapi-Merbabu untuk diselimuti. Kedua gunung itu berdiri gagah di sisi kanan kami. Puncaknya menjulang seolah mengundang setiap pendaki untuk datang. Sementara jauh di belakang kami, si kembar Sindoro-Sumbing seperti turut mengucapkan selamat pagi. Beberapa gunung di Jawa Tengah memang tampak dari puncak Gunung Andong, yaitu Gunung Telomoyo, Merapi-Merbabu, dan Sindoro-Sumbing.




Puncak Merbabu dan Merapi

Sidoro-Sumbing di tengah lautan awan
            Setelah puas berfoto mengabadikan matahari terbit dan menikmati buah-buahan yang saya bawa, kami kembali ke tenda. Matahari sudah naik cukup tinggi ketika kami kembali menghidupkan kompor dan memasak. Kali ini giliran Chef Ika beraksi. Ia akan memasak tumis jamur dan brokoli. Saya dan Ika menyiapkan bumbu, sementara Bayu dan Aji Mustika memasak nasi. And, guess what? Dengan semangat ’45, Aji Mustika mengaduk nasi di dalam panci, sambil sesekali menambahkan air. Aduk terus... aduk terus... dan terus... sampai akhirnya..., nasi itu tetap tidak matang!!! (Mungkin nasinya lelah).
            Meski nasinya #gagalmatang, namun kami tetap lahap menikmati tumis jamur dan brokoli buatan Chef Ika. Mungkin dia memasaknya dengan penuh cinta. Beda dengan dengan Aji Mustika yang masak nasinya hanya pencitraan biar dikira bisa masak. Hehehe....
Menikmati masakan Chef Ika

            Setelah sarapan dan beres-beres tenda, kami bersiap turun, tentu dengan membawa serta sampah di sekitar kami, mulai botol air mineral, bungkus makanan, dan lain-lain. Sangat disayangkan bila orang yang menahbiskan dirinya sebagai pendaki gunung, pencinta alam, backpacker, traveler, atau sejenisnya, tapi membuang sampah sembarangan.
Bawa sampah dari gunung itu keren, lo!
Banyak sekali sampah plastik yang kami temukan di Gunung Andong, lalu kami bawa turun. Padahal, sampah plastik butuh waktu sangat lama untuk diurai, bahkan lebih lama daripada terurainya kenangan bersama sang mantan. Ah, abaikan! Maksud saya, sampah plastik belum bisa diurai meski jasad orang yang membuang sampai telah terurai ketika dia meninggal dunia suatu hari nanti.
            Kami sampai di bawah ketika jam di ponsel menunjukkan jam 10.30. Kurang lebih satu jam kami turun dari puncak hingga pintu masuk. Kami berhenti sejenak di depan pintu masuk, sekadar istirahat sambil makan gorengan dan mengabadikan gambar. Saya kembali menatap puncak Gunung Andong dari bawah, seraya bergumam dalam hati, sampai jumpa lagi, Andong. Kelak kita akan bersua dengan cerita yang berbeda.
See you next time, Mt. Andong.

            Dengan carrier yang masih melekat di punggung, saya melanjutkan perjalanan pulang.
Di belakang, Gunung Andong masih tegak berdiri penuh keanggunan.

                                                                          

                                                                                         Yogyakarta-Solo-Magelang, Juni 2015
           







Ayun
Menulis buku Unforgettable India dan mengedit banyak buku lainnya.
Newer Oldest

Related Posts

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter