-->

A Heroic and Dramatic Journey to Embung Batara Sriten #Part2




Matahari mulai menampakkan kilau jingganya saat saya naik ke Bukit Magir yang terletak di atas Embung Batara Sriten. Di bukit ini pula, Tugu Magir berdiri menandai puncak tertinggi Gunungkidul.

Embung Batara Sriten berlokasi di tanah milih Sultan (Sultan's ground)
 
Dari puncak Bukit Magir
Dari ketinggian sekitar 896 Mdpl, momen tenggelamnya matahari menjadi sesuatu yang istimewa, yang sangat sayang bila lensa kamera tidak turut mengabadikannya. Orang-orang mulai mulai mengabadikan momen sekejab itu dengan kamera masing-masing, baik kamera ponsel maupun kamera digital, begitu juga dengan saya.

 
Reaching sunset

       
Senja dari puncak Bukit Magir, 896 Mdpl

          Saat saya sedang asyik memotret itulah, seorang bapak menyapa dengan ramahnya, “Mbak, yang tadi di bawah, ya?”
            Saya mengangguk dan tersenyum. “Iya, Pak.”
           “Maaf, ya, tadi sopirnya nggak mau berhenti, soalnya pas di tanjakan. Ya sudah, nanti turunnya bareng saja, Mbak.”
Tuhan, terima kasih telah mengabulkan doaku Ashar tadi, saya membatin. Ternyata dia adalah bapak-bapak yang tadi menawari tumpangan pick up. Saya mengobrol dengan si bapak dan keluarganya, yang ternyata dari Bekasi dan sedang berlibur di rumah orang tuanya di Gunungkidul.
            Hari telah beranjak petang ketika saya turun dari bukit dengan beberapa hasil jepretan sore ini. Senja telah berganti warna, menghadirkan gradasi yang berpadu dengan warna langit. Saya sempatkan berfoto groufie bersama dua gadis kecil dari keluarga baik hati yang memberi tumpangan kepada saya.


            Singkat cerita, saya telah berdiri di mobil pick up yang akan membawa kami turun. Jika kamu tahu mobil yang biasa dipakai mengangkut sapi ke pasar hewan, maka itulah yang saya naiki kala itu. Mobil turun perlahan mengikuti liuk jalan berbatu. Saya menguatkan pegangan pada besi yang terpasang di kedua sisi bak mobil agar tidak oleng saat mobil melewati tikungan tajam. Sensasinya seperti naik wahana ombak di pasar malam.
            Senja masih saja menampakkan semburat kemerahan di langit barat.  Saya menatapnya sembari termenung di atas mobil pick up yang terus meliuki banyak tikungan. Kalau dipikir, mungkin ini perjalanan “gila” yang saya lakukan. Perjalanan heroik nan dramatis yang melelahkan namun terbayar dengan sampainya saya di tujuan. Kemauan dan usaha akan selalu beriringan menyertai keberhasilan. Ya, Tuhan akan selalu memberi jalan, bahkan dengan jalan yang sebelumnya tak pernah kita sangka.
            Di titik inilah, saya kembali teringat quote Paulo Coelho dalam The Alchemist, “And when you want something, all the universe conspires in helping you to achieve it.”
            Hari telah petang ketika saya sampai di perkampungan. Mata ini mulai memperhatikan rumah penduduk, mencari sebuah rumah tempat Dhanica menitipkan motornya. Namun nihil. Sampai mobil berhenti di tujuan, saya tidak menemukannya. Sementara, baterai ponsel saya sudah kehabisan daya. Begitu juga dengan power bank yang saya bawa, yang tak sempat di-charge penuh setelah turun dari Gunung Nglanggeran pagi tadi.  
            “Tadi nitipin motornya di mana, Mbak?” tanya si ibu yang mungkin bisa membaca kebingungan di wajah saya.
            “Aduh, saya lupa, Bu. Yang pasti di dekat tanjakan.”
“Ya sudah, istirahat sini dulu, Mbak. Shalat Maghrib di sini saja,” tawarnya.
“Mungkin saya tunggu di balai desa saja, Bu. Tapi ini hp saya juga mati.”
“Kalau gitu di sini aja dulu, Mbak. Sambil nge-charge hp.”
Saya hampir mengiyakan tawaran si ibu, ketika seorang pemuda menyapa saya, “Mbak Ayun, ya?”
“Iya. Kenapa, Mas?” tanya saya heran. Perasaan, saya tidak pernah mengenalnya. Saya juga bukan publik figur yang dikenal banyak orang. Hehehe....
“Ditunggu temannya di atas,” jelasnya, “naik aja terus, rumah kedua setelah tanjakan.”
Fyuuuhh..., akhirnya saya bisa bernapas lega!
Saya pun pamit dan mengucapkan terima kasih kepada orang-orang baik hati yang telah dikirim Tuhan untuk membantu saya hari ini.
Thanks, God!
Tak sampai lima menit jalan kaki, saya telah bertemu Dhanica di sebuah rumah sederhana. Ternyata mas-mas di bawah tadi sempat mampir di rumah ini dan dititipi pesan oleh Dhanica jika bertemu seorang gadis berjilbab, mengenakan kemeja, dan berkacamata, yang tak lain adalah saya. Seorang ibu paruh baya serta kedua anaknya menyambut saya ramah. Belakangan saya ketahui ia akrab dipanggil Bu Rani. Ternyata... dan ternyata..., suami Bu Rani—namanya Pak Bagong—sedang ke atas untuk menyusul saya. Ya Tuhan, baik sekali mereka.
“Khawatir, Mbak, kalau cewek sendirian malam-malam begini. Takut ada ular dan gendruwo,” terang Bu Rani sambil menyajikan segelas teh hangat untuk saya. “Kalau ada gendruwo biasanya kayak ada angin gitu, tau-tau orang yang dibawa gendruwo sudah sampai di tujuan.”
“Nggak diculik sama gendruwonya, Bu?” saya penasaran.
“Nggak, malah dianter sampai tujuan.”
Saya menahan tawa seraya membatin, Baik banget sih gendruwonya. Tahu gitu tadi minta anter gedruwo saja. Hahaha.... Edan!
Malam itu, saya dan Dhanica ngobrol penuh keakraban dengan keluarga Bu Rani. Anak bungsunya yang baru kelas dua SD bukanlah tipe gadis kecil pemalu, sehingga kami bisa asyik bercanda meski baru kenal. Tak lama setelah itu, Bu Rani keluar dari dapur sambil membawa nasi dan lain-lain.
“Ayo, makan dulu, Mbak, seadanya.”
Di meja telah tersaji nasi putih, tumis kangkung, sayur sup, dan sambal terasi. Menu sederhana namun istimewa karena disajikan dengan penuh ketulusan. Malam itu kami makan bersama seperti keluarga, meski baru kenal dalam hitungan jam.
Selang beberapa menit setelah kami makan, Pak Bagong datang. Saya menceritakan bagaimana kronologinya hingga saya bisa turun dengan cepat dan selamat, tanpa harus jalan kaki seperti tadi, apalagi diantar gendruwo. Pak Bagong menghela napas lega.
Saya dan Dhanica tengah bersiap pulang ketika beberapa orang datang. Ternyata mereka baru turun dari Embung Batara Sriten, dan salah satu di antara mereka baru saja jatuh. Entah bagaimana kronologinya, yang pasti lutut pemuda itu terluka dan berdarah. Pak Bagong membantu mengecek motornya, lagi-lagi motor matic. Dan masih menurut Pak Bagong, seharian tadi memang banyak kejadian serupa.
Setelah dipastikan motor tidak apa-apa, mereka pun pulang. Tak lama setelah itu, saya dan Dhanica juga pulang dengan segudang cerita dan pelajaran yang kami petik dari perjalanan kali ini.
Lantas, apakah saya kapok datang ke Embung Batara Sriten? Ah, tentu tidak. Bahkan jika ada yang mengajak saya untuk ke sana lagi, tentu saya akan berangkat dengan senang hati. Sebab, tak ada yang perlu disesalkan dengan sebuah perjalanan, justru setiap perjalanan akan memberi pengalaman, petualangan, dan cerita yang berbeda meski destinasinya sama dengan sebelumnya.

                                                                              Yogyakarta, Juni 2015  
Ayun
Menulis buku Unforgettable India dan mengedit banyak buku lainnya.

Related Posts

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter